Mengapa korupsi sulit diberantas?
Meski upaya
pemberantasan korupsi gencar dilaksanakan, kondisi tidak kunjung membaik.
Korupsi merupakan isu multidimensional yang mempunyai komponen politik,
ekonomi, sosial, budaya, yang sering melibatkan para pemegang kekuasaan
sehingga memberantas korupsi bukanlah perkara mudah. Sejarah mencatat begitu
banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat karena mengangkat isu pemberantasan
korupsi sebagai tema sentral kampanye mereka. Tetapi paradoks terjadi, terlepas
apakah mereka benar-benar terlepas dari antikorupsi dan pada awalnya berupaya
keras untuk memberantas korupsi, ataukah mereka hanya sekedar menggunakan isu
korupsi untuk meraih simpati masa saja. Banyak diantara mereka yang jatuh
akibat kasus korupsi. Di indonesia misalnya di awal kepemimpinan presiden
Soeharto berupaya secara serius memberantas korupsi melalui pembentukan
berbagai lembaga, tetapi upaya yang bersifat formalistis tersebut gagal dan
bahkan isu korupsi dapat menjatuhkannya pada 1998. Di Filipina, presiden
Estrada terpilih melalui pemilu yang bebas dan terbuka pada 1998 dengan
mengusung isu pemberantasan korupsi. Pada 2001 Estrada kehilangan kekukasaan
dan bahkan dihukum karena keterlibatannya dalam kasus korupsi. PM Benazir Bhuto
dari Pakistan, Presiden Olusegun menyebutkan bahwa tingginya korupsi merupakan
sebuah parameter yang valid untuk memprediksi tumbangnya suatu pemerintahan.
(Michael Natch, “Internal Change and Rezime Stability” dalam Controlling
Corruption”, Robert Klitgaard, University of California press,1998,hal 45).
Korupsi merupakan kejahatan yang sulit diungkap karena korupsi melibatkan dua pihak,yaitu koruptor dan klien yang keduanya berupaya untuk menyembunyikan kejadian tersebut, mengingat manfaat besar korupsi bagi mereka dan /resiko hukum atau sosial apabila tindakan mereka terungkap. Dalam kasus korupsi saat klien dan pejabat korup sama-sama menikmati manfaat, mereka akan menutupi aksi mereka agar kepentingan mereka tetap terlindungi. Sementara dalam kasus korupsi pada saat salah satu pihak merupakan korban, si korban cenderung tidak melapor kejadian mengingat dalam banyak kasus korban dapat dipersalahkan ketika membongkar kasus korupsi dengan berbagai alasan termasuk alasan pencemaran nama baik. Busyro Muqoddas di bagian lain buku ini mengungkapkan conbtoh kasus yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini.
Sama halnya dengan kasus penggunaan obat terlarang ataupun perkosaan, kasus korupsi ditutupi oleh pihak yang terlibat, termasuk oleh korban sehingga data yang terekspose kemungkinan hanya meruopakan sebgaian kecil dari jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi. Dengan kata lain kasus korupsi terjadi seperti gunung es tempat sebagian besar kejadian tidak muncul kepermukaan. Pelaporan oleh pihak yang dirugikan oleh kasus korupsi merupakan ujung dari mata rantai pemberantasan korupsi. Sayangnya para pelapor yang biasa disebut dengan whistleblower merupakan makhluk langka yang jarang di temui. Satu faktor diantaranya adalah kurang memadainya perlindungan terhadap pelapor. Walaupun indonesia sudah memiliki whistle blower rule, dalam taraf implementasi, kebijakan tersebut masih mengandung banyak kelemahan. Mas Ahmad Daniri mengulas secara lebih detail permasalaha Whistleblower dalam bagian lainbuku ini.
Korupsi sering
melibatkan pejabat publik atau elit politik yang mempunyai kekuasaan. Mereka
tentunya tidak akan tinggal diam dan berupaya mempengaruhi proses penyelidikan
dan penyidikan kasus korupsi. Kemungkinan yang sering terjadi adalah para
koruptor, secara terorganisasi maupun tidak , bekerjasama melawan upaya
pemberantasan korupsi atau sering disebut dengan corruption fight back.
Serangan ini sering mengakibatkan jatuhnya tokoh sentral di belakang
pemberantasan korupsi.
(Wijayanto, & Ridwan
Zarchie. 2009.Korupsi Mengorupsi
Indonesia
“sebab akibat dan prospek pemberantasan”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Comments
Post a Comment